Friday, November 24, 2017

ZOONOSIS



MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
TENTANG
ZOONOSIS




DISUSUN OLEH
CAMELIA PERMATA SARI











Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul Zoonosis. Penyusunan makalah ini diajukan ke Fakultas Kesehatan Masyarakat sebagai pemenuhan syarat untuk melaksanakan tugas makalah Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang telah memberikan materi dalam pembelajaran sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritikan dan saran agar penyusun dapat mengoreksi kekurangan tersebut. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi tim penyusun.






Padang, September 2017


Tim Penyusun

DAFTAR ISI


DAFTAR PUSTAKA



BAB 1 : PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Zoonosis adalah infeksi yang ditularkan di antara hewan vertebrata dan manusia atau sebaliknya. Zoonosis mendapat perhatian secara global dalam beberapa tahun terakhir baik mengenai epidemiologi, mekanisme transmisi penyakit dari hewan ke manusia, diagnosa, pencegahan dan kontrol.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia, penyakit zoonosis menjadi ancaman yang paling serius sehingga penyakit zoonosis ini mendapat perhatian khusus dari kementerian kesehatan Republik Indonesia. Kejadian wabah penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di Indonesia disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit.
Jenis penyakit yang dikategorikan zoonosis diantaranya adalah visceral larva migrans dan cutaneus larva migrans. Untuk penyakit ini penularannya adalah pada anak balita yang mempunyai kebiasaan bermain di tanah. Selain itu, juga terdapat penyakit zoonosis yang disebabkan oleh larva dari berbagai nematoda yaitu cutaneous larva migrans.

1.2 Manfaat

1.2.1 Mengetahui pengertian zoonosis

1.2.2 Mengetahui penggolongan zoonosis

1.2.3 Mengetahui alur penularan zoonosis

1.2.4 Mengetahui pencegahan dan penanggulangan zoonosis

1.2.5 Mengetahui penyakit visceral larva migrans

1.2.6 Mengetahui penyakit cutaneous larva migrans




BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Zoonosis

Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia. Peternakan di Indonesia rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk zoonosis. Dengan demikian, zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia. Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia.
Berkembangnya zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Sampai saat ini, terdapat tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari hewan.

2.2 Penggolongan Zoonosis

Zoonosis mencakup berbagai penyakit menular yang secara biologis berbeda satu dengan lainnya. Banyaknya penyakit yang dapat digolongkan sebagai zoonosis dikarenakan adanya perbedaan yang kompleks di antara penyakit tersebut. Penyakit zoonosis dapat dibedakan antara lain berdasarkan penularannya, reservoir utamanya, asal hewan penyebarnya, dan agens penyebabnya.


2.2.1 Zoonosis yang Disebabkan oleh Bakteri

Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri, hewan penyebarnya, dan cara penularannya seperti disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Penyakit Zoonosis yang Disebabkan Bakteri
Nama penyakit zoonosis
Bakteri penyebab
Hewan yang dapat terinfeksi
Cara penularan
Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis, M. bovis, M. kansasi
Sapi, kambing, hewan liar

Melalui saluran pencernaan, pernapasan penderita
Bruselosis
Brucella abortus, B. melitensis, B. suis, B. canis
Sapi, kerbau, domba, kambing, kuda
Melalui susu, daging mentah, aerosol
Salmonelosis
Salmonella sp., S. typhi
Sapi, unggas, kucing, kuda
Melalui daging, susu, telur
Antraks
Bacillus anthracis
Ruminansia
Melalui makanan, pernapasan,
dan kontak kulit penderita
Q. fever
Coxiella burnetii
Semua hewan (liar, peliharaan, ternak ruminansia)
Kontak langsung dengan sumber
penularan, partikel debu, urine, feses,
susu, transfusi darah, luka pada kulit
Leptospirosis
Leptospira sp.
Sapi, anjing, tikus
Melalui air seni, kulit yang terluka

1) Tuberkulosis (TBC)
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dengan panjang 1−4 µm. Spesies yang dapat menimbulkan infeksi pada manusia adalah M. bovis dan M. kansasi. Gejala yang ditimbulkan berupa gangguan pernapasan, batuk berdarah, badan menjadi kurus dan lemah. Bakteri ini berpindah dari saluran pernapasan melalui percikan dahak, bersin, tertawa atau berbicara, kontak langsung, atau dari bahan pangan dan air minum yang tercemar.
2) Bruselosis
Bruselosis disebabkan oleh bakteri Brucella, yaitu bakteri berbentuk batang dan bersifat gram negatif. Strain Brucella yang menginfeksi manusia yaitu B. abortus, B. melitensis, B. suis, dan B. canis.
Masa inkubasi bruselosis pada manusia berkisar antara 1−2 bulan, kemudian penyakit dapat bersifat akut atau kronis. Bruselosis akut ditandai dengan gejala klinis berupa demam secara berselang, berkeringat, kedinginan, batuk, sesak napas, turun berat badan, sakit kepala, depresi, kelelahan, artalgia, mialgia, orkhitis pada laki-laki, dan abortus spontan pada wanita hamil.
Bruselosis menular ke manusia melalui konsumsi susu dan produk susu yang tidak dipasteurisasi, atau kontak langsung dengan bahan yang terinfeksi, seperti darah, urine, cairan kelahiran, selaput tetus, dan cairan vagina. Daging mentah dan sumsum tulang juga dapat menularkan bakteri Brucella ke manusia, selain melalui aerosol, kontaminasi kulit yang luka, dan membran mukosa, yang biasanya terjadi pada pekerja rumah potong hewan dan peternak. Wanita hamil yang terinfeksi bruselosis dapat menularkan kuman Brucella ke janin melalui plasenta sehingga mengakibatkan abortus spontan dan kematian fetus intrauterine pada kehamilan trimester pertama dan kedua. Penularan di antara hewan terjadi akibat perkawinan alami, kontak dengan janin yang terinfeksi, dan cairan janin.
3) Salmonelosis
Penyebab salmonelosis adalah bakteri Salmonella serovar typhi. Bakteri ini berkembang biak dalam makanan yang terbuat dari daging, susu, atau telur dalam kondisi suhu dan kelembapan yang cocok sehingga menimbulkan sakit bila dikonsumsi manusia (Purnomo 1992). Gejala yang ditimbulkan setelah infeksi adalah demam, diare disertai lendir, kadang berdarah. Hewan yang terkena salmonela tidak boleh dipotong.
4) Antraks
Penyebab antraks adalah bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini berbentuk batang dan termasuk kelompok gram positif dan bersifat patogenik. Di alam, bakteri membentuk spora yang sulit dimusnahkan dan dapat bertahan hingga puluhan tahun di dalam tanah sehingga bisa menjadi sumber penularan pada hewan dan manusia.
Penyakit antraks atau radang limpa bersifat akut dan dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Penyakit antraks dapat menular ke manusia, terutama para pekerja yang berhubungan atau berdekatan dengan ternak. Serangan antraks pada manusia umumnya termanifestasi pada kulit, berupa ulkus borok yang sulit sembuh. Ada pula penderita yang mengalami gangguan pencernaan berupa diare.
Pada manusia dikenal tiga bentuk penyakit antraks berdasarkan cara penularannya, yaitu: 1) melalui kulit atau kontak langsung dengan bakteri antraks, terutama pada kulit yang terluka, 2) melalui inhalasi, yaitu terisapnya spora antraks sebagai aerosol, dan 3) melalui intestinal atau usus yang terjadi karena penularan secara oral melalui konsumsi daging mentah atau daging yang mengandung antraks yang dimasak kurang matang.
Hewan yang dicurigai terserang antraks dilarang untuk dibuka karkas atau bangkainya, bahkan untuk alasan pemeriksaan. Hewan yang terkena antraks dilarang untuk dipotong.
5) Q. fever
Penyebab Q. fever adalah bakteri Coxiella burnetii. Q. fever dapat menular melalui kontak langsung dengan sumber penular yang terinfeksi, juga partikel debu yang terkontaminasi agens penyebab. Beberapa vektor yang sangat berperan dalam penyebaran penyakit Q. Fever adalah mamalia, burung, dan anthropoda, khususnya caplak. Caplak dapat menjadi perantara pada hewan, tetapi tidak pada manusia. Selain hewan peliharaan anjing dan kucing, tikus juga merupakan hewan perantara yang potensial dalam penularan ke manusia. Hewan mamalia yang terinfeksi umumnya akan mengeluarkan bakteri pada urine, feses, susu, dan plasenta dari fetus yang dilahirkan. Pada manusia, penularannya dapat terjadi melalui transfusi darah maupun luka pada kulit.
Gejala klinis Q. fever pada hewan umumnya bersifat subklinis, sering ditandai dengan penurunan nafsu makan dan gangguan pernapasan dan reproduksi, berupa abortus. Gejala klinis pada manusia yaitu demam mirip gejala influenza dan sering kali diikuti dengan radang paru. Penyakit Q. fever sering kali bersifat menahun dan menimbulkan kondisi yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pembuluh darah, dan peradangan jantung (endokarditis), yang berakibat pada kematian.
6) Leptospirosis
Penyebab leptospirosis adalah bakteri Leptospira sp. yang berbentuk spiral dan mempunyai 170 serotipe. Sebagian nama serotipe diambil dari nama penderita, misalnya L. pomona, L. harjo, L. earick. Leptospira dikeluarkan melalui air seni reservoir utama, seperti sapi, anjing, dan tikus yang kemudian mencemari lingkungan terutama air. Manusia tertular leptospira melalui kontak langsung dengan hewan atau lingkungan yang tercemar.
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet, luka atau selaput mukosa. Pada hewan, Leptospira menyebabkan ikteus (kekuningan) ringan sampai berat dan anemia, hepar membesar dan mudah rusak, serta ginjal membengkak. Pada manusia terjadi hepatomegali dengan degenerasi hepar serta nefritis anemia, ikteus hemolitik, meningitis, dan pneumonia.

2.2.2 Zoonosis yang Disebabkan oleh Virus

Zoonosis yang disebabkan oleh virus, hewan penyebarnya, dan cara penularannya disajikan pada tabel.berikut:
Tabel 2.2 Penyakit Zoonosis yang Disebabkan Virus
Nama penyakit
Virus penyebab

Hewan yang dapat terinfeksi
Cara penularan
Flu burung

H5N1

Ayam, burung, itik, babi

Melalui aerosol, percikan cairan dan lendir dari hewan yang sakit
Flu babi
H3N1 subtipe, H1N1,H1N2, H3NI, H3N2
Babi
Melalui kontak langsung
atau menghirup partikel kecil di udara yang mengandung virus
Rabies
Rhabdoviridae (F), Lyssa virus (G)
Kelelawar, semua hewan berdarah panas
Melalui gigitan anjing kucing, kelinci, marmut

1) Flu Burung
Flu burung (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus AI jenis H5N1. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. Virus menular melalui cairan/lendir yang berasal dari hidung, mulut, mata (konjuntiva), dan kotoran (feses) dari unggas yang sakit ke lingkungan; kontak langsung dengan ternak sakit; melalui aerosol (udara) berupa percikan cairan/lendir dan muntahan cairan/lendir, air, dan peralatan yang terkontaminasi virus AI.
Virus tahan hidup dalam air selama 4 hari pada suhu 22°C dan 30 hari pada 0°C. Virus mati dengan desinfektan amonium kuatener, formalin 2,5%, iodoform kompleks (iodin), senyawa fenol, dan natrium/kalium hipoklorit. Pada kandang ayam, virus AI tahan hingga 2 minggu setelah pemusnahan ayam. Virus berada pada feses yang basah dan bertahan selama 32 hari.
Gejala klinis flu burung pada unggas yaitu jengger, pial, dan kulit perut yang tidak ditumbuhi bulu berwarna biru ke unguan (sianosis), borok pada kaki, kadang-kadang terdapat cairan dari mata dan hidung, pembengkakan pada muka dan kepala, pendarahan di bawah kulit (subkutan), pendarahan titik (ptechie) pada daerah dada, kaki dan telapak kaki, batuk, bersin, ngorok, diare, dan akhirnya menyebabkan kematian. Gejala klinis pada manusia ditandai dengan demam suhu 38°C, batuk, nyeri tenggorokan, radang saluran pernapasan atas, pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Masa inkubasi pada unggas berlangsung 1 minggu, sedangkan pada manusia 1−3 hari setelah timbul gejala sampai 21 hari.
2) Flu babi (swine flu)
Penyebab flu babi adalah virus H3N1, termasuk virus influenza tipe A subtipe H1N1, H1N2, H3N1, H3N2, yang merupakan satu genus dengan virus flu burung H5N1. Influenza babi biasanya muncul ketika babi yang berasal dari kawasan terinfeksi dimasukkan ke kawasan yang peka. Penyakit ini sering muncul secara bersamaan pada beberapa peternakan di suatu daerah dan menyebabkan terjadinya wabah. Virus keluar melalui ingus dan menular dari babi ke babi lain melalui kontak langsung atau mengirup partikel-partikel kecil dalam air yang mengandung virus. Virus influenza babi dapat menginfeksi manusia, terutama yang kontak atau dekat dengan babi, seperti jagal dan peternak.
Gejala utama flu babi mirip gejala influenza pada umumnya, seperti demam, batuk, pilek, lesu, letih, nyeri tenggorokan, penurunan nafsu makan dan mungkin diikuti mual, muntah, dan diare. Gejala klinis masa inkubasi 1−3 hari. Gejala klinis yang utama terbatas pada saluran pernapasan, dan mendadak timbul pada sebagian besar babi dalam kelompok. Babi yang terinfeksi tidak mampu berjalan bebas dan cenderung bergerombol, terjadi radang hidung, pengeluaran ingus, bersin-bersin, dan konjungtiva. Babi yang terinfeksi menderita batuk paroksismal (serangan batuk yang berselang) disertai punggung melengkung, pernapasan cepat, sesak, apatis, anoreksia, rebah, tengkurap, dan suhu tubuh meningkat 41,5°C. Setelah 3−6 hari, babi biasanya sembuh, makan secara normal setelah 7 hari. Babi yang sakit diusahakan tetap hangat dan tidak menderita cekaman. Penyakit ini tidak berbahaya dan komplikasi sangat kecil serta tingkat kematian kurang dari 1%, tetapi babi yang menderita bronkopneumonia dapat berakhir dengan kematian.
3) Rabies
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi yang menyerang susunan syaraf pusat, terutama menular melalui gigitan anjing dan kucing. Penyakit ini bersifat zoonosik, disebabkan oleh virus Lyssa dari famili Rhabdoviridae.
Infeksi pada manusia biasanya bersifat fatal (mengakibatkan kematian). Gejala dan tanda klinis utama meliputi: 1) nyeri dan panas (demam) disertai kesemutan pada bekas luka gigitan, 2) tonus otot aktivitas simpatik meninggi dengan gejala hiperhidrosis (keluar banyak air liur), hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan dilatasi pupil, dan 3) hidrofobia. Sekali gejala klinis timbul biasanya diakhiri dengan kematian.
Masa inkubasi pada manusia bervariasi dari beberapa hari sampai bertahuntahun, bergantung pada jauh dekatnya tempat gigitan dengan otak. Makin dekat tempat gigitan dengan otak, masa inkubasinya semakin cepat (Bell et al. 1988). Bila infeksi pada manusia telah memperlihatkan gejala klinis, umumnya akan berakhir dengan kematian. Untuk mencegah infeksi rabies pada suatu daerah, perlu dilakukan penangkapan dan vaksinasi anjing liar serta anjing peliharaan.

2.2.3 Zoonosis yang Disebabkan oleh Parasit

Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit, hewan penyebarnya, dan cara penularannya dapat dilihat pada tabel.berikut:
Tabel 2.3 Penyakit Zoonosis yang Disebabkan Parasit
Zoonosis parasit
Parasit penyebab
Hewan yang dapat terinfeksi
Cara penularan
Toksoplasmosis
Toxoplasma gondii
Kucing, kambing, babi, unggas, berbagai jenis hewan lainnya
Melalui makanan yang tercemar, vektor lalat/kecoa, serta melalui tangan
Taeniasis
Taenia solium, T. saginata
Babi, sapi
Melalui makanan yang tercemar
Skabiosis/skabies
Sarcoptes scabiei
Kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi, anjing,
unta, dan hewan liar lainnya
Kontak dengan penderita



Filariasis

Filaria wucherina bancrofti
Anjing, kucing, monyet
Melalui gigitan nyamuk
Myasis

Chrysomya bezziana, Strongyloides sp. S. scabiei
Sapi, kerbau, kambing, domba, harimau, rusa, badak, dan unta
Melalui infestasi larva C. Bezziana pada luka

1) Toksoplasmosis
Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit protozoa bersel tunggal yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Penyakit menimbulkan ensefalitis (peradangan pada otak) yang serius serta kematian, keguguran, dan cacat bawaan pada janin/bayi. T. gondii dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu trofozoit, kista, dan oosit dan dapat menular pada berbagai jenis hewan. Walaupun inang definitifnya sebangsa kucing dan hewan dari famili Felidae, semua hewan berdarah panas dan mamalia seperti anjing, sapi, kambing, dan burung juga berperan dalam melanjutkan siklus T. gondii.
Sumber infeksi utama adalah ookista parasit yang menginfeksi kucing dan kista yang terdapat dalam babi atau kambing. Untuk dapat menginfeksi kucing, hewan lain atau manusia, ookista harus mengalami sporulasi sehingga menjadi infektif sebagai sumber penularan lain. Selain melalui ookista infektif, individu dapat terserang toksoplasma melalui bahan pangan yang terkontaminasi ookista infektif serta daging atau telur yang mengandung tachizoid atau bradizoit (bentuk lain toksoplasma). Pada manusia, penularannya dapat melalui makanan, minuman, tangan yang kotor, dan peralatan yang tercemar telur toksoplasma maupun kistanya. Apabila kista berada di otak akan menunjukkan gejala epilepsi dan bila berada di retina akan menimbulkan kebutaan.

2) Taeniasis
Taeniasis ditularkan secara oral karena memakan daging yang mengandung larva cacing pita, baik daging babi (Taenia solium) maupun daging sapi (Taenia saginata). Dengan kata lain, penularan taeniasis dapat terjadi karena mengonsumsi makanan yang tercemar telur cacing pita dan dari kotoran penderita sehingga terjadi infeksi pada saluran pencernaan (cacing pita dewasa hanya hidup dalam saluran pencernaan manusia).
Gejala klinis penyakit taeniasis adalah gangguan syaraf, insomia, anoreksia, berat badan menurun, sakit perut atau gangguan pencernaan. Dapat pula menimbulkan mual, muntah, diare atau sembelit. Cacing dapat pula keluar seperti lembaran pita ketika buang air besar.
3) Skabiosis (penyakit kudis)
Skabiosis disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei. Tungau menyerang induk semangnya dengan cara menginfestasi kulit kemudian bergerak dengan membuat terowongan di bawah lapisan kulit (stratum korneum dan lusidum) sehingga menyebabkan gatal-gatal, rambut rontok, dan kulit rusak. Kudis (S. scabiei) dapat terjadi pada hewan berdarah panas, seperti kambing, domba, kerbau, sapi, kuda, babi, anjing, unta, marmot, kelinci, kucing, dan hewan liar.
Gejala klinis pada hewan yaitu gatalgatal, hewan menjadi tidak tenang, menggosok-gosokkan tubuhnya ke dinding kandang dan akhirnya timbul peradangan kulit. Bentuk entrima dan papula akan terlihat jelas pada daerah kulit yang tidak ditumbuhi rambut. Apabila tidak diobati maka akan terjadi penebalan dan pelipatan kulit disertai timbulnya kerak. Gejala tersebut muncul kira-kira tiga minggu pascainfestasi tungau atau sejak larva membuat terowongan di dalam kulit.
Gejala klinis pada manusia akibat infestasi tungau berupa rasa gatal yang parah pada malam hari atau setelah mandi. Rasa gatal diduga akibat sensitivitas kulit terhadap eksret dan sekret tungau. Fimiani et al. (1997) melaporkan S. scabiei mampu memproduksi substan proteolitik dalam terowongan yang dibuatnya untuk aktivitas makan dan melekatkan telur pada terowongan tersebut.
Pencegahan pada manusia dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan barang-barang secara bersama-sama, seperti pakaian. Handuk dianjurkan dicuci dengan air panas dan disetrika. Seprai diganti maksimal tiap tiga hari. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air, seperti bantal dan guling dijemur di bawah sinar matahari sambil dibalik 20 menit sekali. Kebersihan tubuh dan lingkungan, termasuk sanitasi dan pola hidup sehat akan mempercepat penyembuhan dan memutus siklus hidup S. scabie.
4) Filariasis (penyakit kaki gajah)
Filariasis disebabkan oleh nematoda parasit cacing gelang genus Filaria wucherina bancrofti. Cacing hidup dan berkembang biak dalam darah dan jaringan penderita.
Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk yang mengisap darah seseorang yang tertular. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva akan ditularkan ke orang lain melalui gigitan. Gejala yang terlihat berupa membesarnya tungkai bawah (kaki) dan kantung zakar (skrotum), serta keluhan sumbatan pada pembuluh limfe.
5) Myasis
Parasit penyebab myasis adalah Chrysomya bezziana. Patogenesis myasis pada hewan dan manusia sama. Kejadian myasis pada ternak diawali dengan adanya luka gigitan caplak yang kemudian dihinggapi lalat C. bezziana dan akhirnya bertelur pada jaringan. Telur menetas menjadi larva dan memakan jaringan bekas gigitan lalu
terjadi borok yang penuh dengan larva lalat tersebut.
Myasis pada ternak sering ditemukan di sekitar mata, mulut, vulva, tanduk yang dipotong, luka kastrasi, dan pusar hewan yang baru lahir. Awal infeksi terjadi pada kulit yang luka, selanjutnya larva bergerak ke jaringan otot dengan cara membuat terowongan pada jaringan tersebut sehingga daerah luka semakin lebar dan tubuh ternak makin lemah, nafsu makan menurun, demam, dan diikuti penurunan produksi susu dan berat badan, bahkan dapat terjadi anemia.
Gejala umum pada manusia antara lain adalah demam, gatal-gatal, sakit kepala, vertigo, eritrema, radang, dan pendarahan yang memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Darah penderita myasis akan menunjukkan gejala hipereosinofilia dan meningkatnya jumlah neutropil.

2.2.4 Zoonosis yang Disebabkan oleh Jamur

Jamur adalah mikroba yang membentuk hifa, terdiri atas jenis kapang dan khamir. Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh jamur, hewan penyebarnya, dan cara penularannya disajikan pada tabel berikut:
Tabel 2.4 Penyakit Zoonosis yang Disebabkan Jamur
Penyakit

Jamur penyebab penyakit
Hewan yang dapat terinfeksi
Cara penularan
Kurap (Ringworm)

Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum gypseum
Sapi, kambing, domba, unggas, anjing, kucing,
kuda
Kontak langsung dengan penderita


1) Kurap (ringworm/tinea)
Penyakit kurap/kadas/ringworm disebabkan oleh cendawan dermatofita yang biasa tumbuh di daerah lembap dan hangat. Penyakit kurap biasanya menyerang rambut (Tinea ceapitis), kulit (Tinea corponis), sela jari kaki (Tinea pedis) atau athlete foot, dan paha (Tinea curis) atau jock itch karena cendawan ini mampu hidup di bagian tubuh T. ceapitis yang mempunyai zat kitin. Beberapa spesies cendawan kelompok dermatofita yang sering menyerang anjing dan kucing adalah Microsporum canis, Trichophyton mentagrophytes, dan Microsporum gypseum.
Gejala klinisnya berupa cincin melingkar pada tempat yang terinfeksi dan kebotakan bulu dan rambut pada bagian yang terserang dan bagian tubuh yang mengandung karatin. Gejala yang ditimbulkan adalah bercak merah, bernanah, dan bulu rontok, terutama pada kulit bagian muka, leher, dan punggung. Penularannya melalui kontak langsung. Jamur yang berhasil melekat pada kulit menyebabkan patologik. Derajat keasaman kulit juga memengaruhi pertumbuhan jamur. Apabila jamur tumbuh pada lapisan kulit mati bagian dalam (keratin) maka pertumbuhannya bersifat mengarah ke dalam karena toksin yang dihasilkan menyebabkan jaringannya hidup. Epidemis dan dermis yang kaya pembuluh darah berusaha melawan alergen yang berbentuk toksin tersebut sehingga terjadi radang kulit.

2.3 Alur Penularan

Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar. Penyakit yang diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut.

2.4 Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis pada manusia meliputi:
1. Mengendalikan zoonosis pada hewan dengan eradikasi atau eliminasi hewan yang positif secara serologis dan melalui vaksinasi.
2. Memantau kesehatan ternak dan tata laksana peternakan di tingkat peternak.
3. Mensosialisasikan gejala klinis awal penyakit zoonosis di peternakan atau rumah potong hewan dan sesegera mungkin melaporkan dan mengambil tindakan terhadap ternak maupun
4. pekerja yang tertular penyakit.
5. Memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan menerapkan sistem karantina yang ketat, terutama dari negara tertular.
6. Melarang impor sapi dan produknya, pakan ternak, hormon, tepung tulang, dan gelatin yang berasal dari sapi dari negara yang belum bebas penyakit menular.
7. Menjaga kebersihan kandang dengan menyemprotkan desinfektan.
8. Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, masker hidung, kaca mata pelindung, sepatu boot yang dapat didesinfeksi, dan penutup kepala bila mengurus hewan yang sakit.
9. Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan setelah memegang daging mentah, menangani karkas atau mengurus ternak.
10. Memasak dengan benar daging sapi, daging unggas, dan makanan laut serta menghindari mengonsumsi makanan mentah atau daging yang kurang masak.
11. Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi hewan piaraan atau serangga.
12. Menggunakan sarung tangan bila berkebun, menghindari feses kucing saat menyingkirkan bak pasir yang tidak terpakai.
13. Memantau nyamuk dan lalat di daerah endemis dan mengawasi lalu lintas ternak.
14. Jika tergigit anjing atau kucing, segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun di bawah kucuran air mengalir selama 10−15 menit agar dinding virus yang terbuat dari lemak rusak oleh sabun.
15. Segera ke dokter atau ke rumah sakit untuk mendapat vaksinasi.

2.5 Visceral Larva Migrans 

2.5.1 Definisi

Visceral larva migrans adalah suatu kondisi dimana telur infektif nematoda asal hewan masuk ke dalam tubuh manusia, kemudian melakukan migrasi ke dalam organ viscera dan menimbulkan lesi serta gejala klinik. Kondisi ini berbeda dengan cutaneous larva migrans, dimana tahap larva nematoda yang masuk ke dalam tubuh manusia.

2.5.2 Penyebab

Penyebab visceral larva migrans pada umumnya adalah larva Toxocara Canis dari anjing. Di samping itu, dalam kasus yang lebih kecil disebabkan juga oleh Toxocara cati dari kucing, Capillaria hepatica dari tikus, dan Lagochilascaris minor dari harimau.

2.5.3 Sumber penular

Tanah atau barang-barang tercemar oleh telur nematoda anjing atau kucing merupakan penyebab larva migrans. Telur nematoda perlu waktu beberapa minggu di adalam tanah untuk berkembang menjadi infektif.

2.5.4 Penularan

Penularan terjadi per os. Telur infektif yang tertelan akan menetas di dalam usus menjadi larva. Larva cacing ini mengalami migrasi melalui sistem limfatik dan sirkulasi darah, kemudian mencapai berbagai organ dan membentuk jaringan granuloma. Anak balita (usia di bawah lima tahun) yang bermain di tanah dan mempunyai kebiasaan memasukkan jari ke dalam mulut berisiko besar tertular visceral larva migrans.

2.5.5 Gejala Klinik

Penyakit ini umumnya asimptomatik. Namun, pada sebagian kasus dapat ditemukan demam intermiten, anoreksia, batuk terus-menerus, kenaikan berat badan terhambat, nyeri otot dan sendi, nyeri abdominal, dermatitis, dan gangguan syaraf. Dalam jumlah kecil dapat terjadi endophalmitis dan granuloma pada retina yang disebabkan oleh penyumbatan arteri pada retina oleh larva cacing. Kondisi ini dapat dikelirukan dengan retinoblastoma. Gejala klinik dapat berlangsung lebih dari 1 tahun karena larva cacing tersebut dapat tahan hidup lama.

2.5.6 Aspek Veteriner

Prevalensi infestasi T. canis pada anjing di Indonesia sangat tinggi. Penularan dapat terjadi secara intra uterin dari induk anjing ke fetus, secara laktogenik lewat air susu dari induk ke anak, atau per os dari tanah atau minuman tercemar.
Pada anak anjing yang tertular prenatal (sebelum lahir), infestasi T.canis dalam jumlah banyak yang dapat mengakibatkan kematian semua anak anjing yang dilahirkan dari satu induk. Anak anjing yang lebih besar dapat menunjukan gejala muntah dan diare, sehingga berat badan menurun drastic. Larva T.canis dapat migrasi ke paru-paru sehingga mernyebabkan pneumonia.
Pada infestasi T.canis yang lebih ringan, perut anak anjing terlihat besar (pot-belly) disertai diare intermiten dan selaput lendir terlihat anemik. Bulu suram, malas, dan kadang-kadang konstipasi. Segerombolan cacing dewasa yang saling bertaut seperti mie dapat menyumbat lumen usus sehingga menimbulkan kematian. Infestasi cacing dewasa dalam usus dapat diobati dengan piperasin atau pirantel palmoat. Kedua obat ini tidak efektif terhadap larva cacing.

2.5.7 Pencegahan dan Pengobatan

Tidak ada pengobatan yang seragam, pemberian diethylcarbamazine selama 3-4 minggu dilaporkan dapat memberikan kesembuhan. Thiabendazole diberikan selama 3 hari dengan pengulangan setelah dihentikan 2 hari juga dapat diberikan.
Penderita penyakit ini tidak perlu diisolasi karena tidak terjadi penularan antar manusia. Untuk menghindari penularan disarankan agar tinja anjing dan kucing dibuang di tempat yang aman sehingga tidak mencemari tanah atau rumput. Anak-anak dibiasakan untuk segera mencuci tangan setelah bermain di tanah.
Pemilik anjing dan kucing dianjurkan memeriksakan tinja hewan kesayangannya secara teratur pada dokter hewan agar terhindar dari infestasi cacing.

2.6 Cutaneous larva Migrans

2.6.1 Definisi

Cutaneous larva migrans adalah suatu kondisi dimana larva nematoda cacing tambang asal hewan menembus ke dalam lapisan kulit manusia dan melakukan migrasi secara terbatas pada kulit sehingga menimbulkan jejas atau lesi disertai gejala klinik.

2.6.2 Penyebab

Penyebab larva migrans adalah larva dari berbagai nematoda, terutama Ancyolostoma caninum dan Ancylostoma brazilienze. Dalam jumlah sedikit, dilaoprkan pula bahwa penyakit ini disebabkan oleh Ancylostoma duodonale, Necator americanus, Uncinaria stenocephala, strongiloides sp, dan gnathostoma sp. Di tanah, larva cacing dapat tahan beberapa minggu apabila kondisi mendukung kehidupannya.

2.6.3 Sumber Penular

Sumber penular adalah tanah yang tercemar oleh larva nematoda dari anjing atau kucing. Prevalensi di wilayah beriklim hangat, basah dan tanah berpasir, penyakit yang sering menyerang  wisatawan atau pekerja (misalnya petugas pipa air minum, tukang kebun) yang kontak dengan tanah berpasir di tempat yang teduh (misalnya  tanah di bawah rumah panggung) yang sering didatangi anjing dan kucing. Lebih lazim pada anak-anak.

2.6.4 Penularan

Penularan terjadi secara kontak antara kulit dan larva III yang ada di tanah, kemudian larva tersebut menembus kulit. Kasus cutaneous larva migrans terjadi pada anak-anak dan pekerja yang berhubungan dengan penggalian tanah. Karena manusia tidak merupakan induk semang definitif dari nematoda ini, maka perkembangan larva terhenti dan larva akan mati.

2.6.5 Gejala Klinik

Predileksi lesi adalah kulit pada kaki bagian bawah dan tangan. Namun, pada hakikatnya semua bagian kulit dapat terserang, termasuk kulit bagian pipi. Lesi awal berupa papula di tempat masuknya larva ke dalam kulit. Lesi ini kemudian menjalar sepanjang perjalanan larva bermigrasi. Kulit meradang, mengalami edema atau penebalan secara local disertai rasa gatal dan nyeri. Tingkat kegatalan dan nyeri tergantung pada jenis larva yang menyerang.

2.6.6 Aspek Veteriner

Prevalensi infestasi cacing Ancylostoma caninum pada anjing di Indonesia sangat tinggi. Pada anak anjing, infestasi cacing ini dapat bersifat fatal apabila tidak diberi pengobatan. Dalam sehari, seekor cacing A caninum dapat menghisap darah sebanyak 0,1ml. akibatnya anjing terserang umumnya sangat kurus dan anemic. Tinja dapat bercampur dengan drah atau bewarna hitam. Larva III dari a. Caninum dapat menembus kulit sehingga menimbulkan eritema dan pruritus mirip dengan gejala demodikosis yang disebabkan oleh Demodex canis.

2.6.7 Pencegahan dan pengobatan

Pada manusia, pengobatan bersifat asimptomatik, berhenti sendiri dalam 2-3 bulan. Rendam dalam larutan hipoklorit. Untuk pencegahan, kontrol wilayah tempat hewan berak serta kenakan pakaian pelindung jika bekerja di tanah tercemar.




BAB 3 : PENUTUP



3.1 Kesimpulan

Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah di antara hewan vertebrata dan manusia. Berdasarkan hewan penularnya, zoonosis dibedakan menjadi zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, seperti tikus yang dapat menularkan leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia.
Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar. Penyakit yang diderita ternak selama pemeliharaan dapat menular ke manusia melalui konsumsi bahan pangan asal ternak tersebut.
Visceral larva migrans adalah suatu kondisi dimana telur infektif nematoda asal hewan masuk ke dalam tubuh manusia, kemudian melakukan migrasi ke dalam organ viscera dan menimbulkan lesi serta gejala klinik. Kondisi ini berbeda dengan cutaneous larva migrans, dimana tahap larva nematoda yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Cutaneous larva migrans adalah suatu kondisi dimana larva nematoda cacing tambang asal hewan menembus ke dalam lapisan kulit manusia dan melakukan migrasi secara terbatas pada kulit sehingga menimbulkan jejas atau lesi disertai gejala klinik.

3.2 Saran

Tim penyusun makalah berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila terdapat suatu kesalahan kami berharap kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA


1. Khairiyah. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara). Jurnal Litbang Pertanian. 2011;30(3):217-24.

2. Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius

3. Schnurrenberger, Paul. 1991. Ikhtisar Zoonosis. Bandung : ITB

No comments:

Post a Comment

Teknik Menyusui yang Benar

Cara menyusui yang benar : posisi, upaya memperbanyak dan tanda bayi cukup ASI Salut untuk para bunda yang sudah mau berjuang unt...